Rabu, 14 November 2012

Seniman Muda Aceh Tidak Munafik



“Aceh tak akan pernah berpikir jika kita -sebagai warganya- tak berpikir!”

Lukisan Oleh : Tu-ngang Iskandar

Statment ini muncul di sela-sela diskusi terhadap ranah kesenian ala warung kopi malam itu. Membahas kesenian bagi saya adalah hal yang paling sensitif, mengingat kekinian pergolakan politik Aceh yang semakin hari semakin unik saja dan terus menggerus kesenian. Kesenian masih dianggap sebagai persembahan yang temporial dan hanya dapat diekspose pada waktu-waktu tertentu saja, sebutlah seperti sebuah acara kenegaraan, menyambut hari besar atau apalah namanya. Saya mengubah posisi duduk dan memasang kuping agar bisa lebih peka mendengar diskusi bebas itu karena berbagi dengar dengan suara tayangan bola kaki. Ini semakin menarik saja.

Sistem pemerintahan yang sedang kita hadapi saat ini adalah carut marut politik yang busuk, kehidupan kita jalani sekarang ini adalah imbas dari sistem kacau itu yang merambah ke perut seniman, Perupa khususnya. Miris ketika saya mendengar seseorang yang berbakat dan potensial dalam melukis justru menafkahi diri dengan jualan kelapa muda atau menjadi tukang tambal ban. Bukan hal demikian tidak boleh, hanya saja mengapa kemampuan itu tidak diberdayakan dan didukung semaksimal mungkin. Yang saya tangkap dalam diskusi ini, ternyata jawabannya klasik. Lagi-lagi Pemerintah yang menjadi borok kesalahan ini. Apakah seniman menjadi korban? Dari apa yang saya dapat pahami dalam diskusi warung kopi itu ternyata banyak katagori seniman di Aceh ditilik dari kepentingannya.

Pertama adalah Seniman Aceh menganggap dirinya -sadar tidak sadar- telah menjadi korban dari dari sistem yang telah terbentuk. Mereka menganggap dirinya telah dikucilkan sistem pemerintahan, Hal ini dapat kita buktikan dari beberapa pengalaman perih yang dialami, mulai dari ketidakpedulian bahkan melarang kebebasan mengeksplorasi seni pada wadah yang seharusnya mereka berada. Misalnya Taman Budaya atau Taman Ratu Safiatudin. Sikap tak acuh ini akhirnya menjadi bara api dan dendam, Pemerintah menjadi musuh karena memandang seniman sebelah mata.

Kedua adalah Seniman Muda Aceh justru tidak mengganggap keberadaan pemerintah sebagai generator yang memulai segalanya, justru merekalah pemantik apinya. Mereka terus mengekpresikan diri dan komunitasnya di luar iming-iming kucuran dana dari pemerintah. Mereka sama sekali tidak peduli dengan apa dan bagaimana pemerintah bekerja terhadap mereka, peduli atau tidak itu tidak menjadi ukuran terhadap aktifitas pengkaryaan mereka. Ideologi ini menjadikan mereka kokoh dan tak mudah dipermainkan dalam arti mereka akan terus berkarya walau tanpa bantuan sekalipun.

Ketiga adalah Seniman pemerintah, Seniman yang khusus mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah, mereka dibiayai dengan dana dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya. Mereka akan menjadi persembahan utama dalam setiap pertunjukan dan pameran yang dilakukan pemerintah. Namun jika event tidak ada maka merekapun lenyap entah berantah, Tak heran pertunjukan yang persembahkan begitu sangat tidak profesinal, karena orientasi  mereka adalah ‘Money’.

Dimanakah posisi kita saat ini, mungkin ada katagori lainnya atau bahkan tidak ingin dikatagorikan?
Memang berbicara kesenian Rupa di Aceh adalah hal yang pelik. Hal ini patut dikhawatirkan mulai dari ranah akademisi bahkan agama. Di dunia Akademisi misalnya, Coba sebutkan satu saja sekolah seni atau Perguruan Tinggi/Universitas yang memiliki Fakultas kesenian dan Jawabannya Mutlak, Tidak Ada! Walau beberapa tahun  lalu pernah diwacakan akan mendirikan Akademi Kesenian Aceh atau AKA, Namun buktinya sekarang gaungnya saja bagai ditelan bumi.

Selain itu ajaran agama –Syariat Islam- menjadi seperti tameng terhadap aktifitas kreatif, padahal bukankah bakat adalah anugerah? Terus terang saya belum mengerti apakah itu benar atau hanya sebagai dalih saja. Saya pernah mendengar kalau patung itu dilarang di Aceh karena alasan bertentangan dengan kearifan lokal dan Syariat Islam. Jikapun peraturan itu benar dan harus diterapkan mengapa di beberapa titik justru berdiri megah, beberapa mainan kuda-kudaan dan gajah-gajahan di taman-taman kota adalah patung bukan, manekin yang ada di toko-toko pakaian juga patung, kan!?

Terlepas dari segala hambatan dan kekakuan yang masih saja mengotak-kotakkan seniman di Aceh Saya pikir yang perlu dipikirkan dan dikerjakan adalah menyusun kekuatan dengan terus berkarya, terus dan terus. 

by. Rasnadi Nasry
Ketum PANYOET

Khamis, 1 November 2012

MENUAI KACANG


Beberapa kali hand phone saya berdering siang itu, Tenyata ketua Jaroe -Fadhlan Bachtiar- menghubungi saya. Dari komunikasi melalui udara itu berorientasi kepada pertemuan komikus yang terhimpun di Jaroe, ada hal yang sangat urgen untuk dibahas sepertinya. “Pukul empat sore kita udah di Paknek Kupi ya, bawa beberapa perwakilan dari Panyoet” begitu katanya dari seberang. Kontan saya penasaran, ada apa kiranya?