Foto bersama penggagas lembaga JAROE |
Tempo hari,
24 juni 2012 di KRAK society tak dapat dipungkiri bahwa puluhan seniman Rupa
Aceh berkumpul karena satu ‘kemungkinan‘ yang pada dasarnya merupakan geliat
kegelisahan yang terlalu lama bungkam. Hari itu beragam komunitas Rupa bahkan perupa
individual yang terus berkarya visual -karena panggilan jiwa tak mungkin
dielakkan- terlihat sangat antusias dalam pertemuan ini, kemudian sadar atau
tidak, sengaja atau tidak, pertemuan ini kemudian disebut sebagai titik temu
kepedulian terhadap kesenirupaan Aceh.
Betapa tidak waktu yang terlalu
singkat ini menjadi tolak ukur kesenirupaan Aceh kedepan. Hal ini terekam dari
ungkapan-ungkapan para perupa Aceh yang telah jenuh menjadi perupa yang ‘diompongkan’.
Walau terkadang pernyataan keras mereka adalah ungkapan hati dan carut marut
kekecewaan, namun itulah namanya kejujuran dalam mengekspresikan kegelisahan. Jujur
saja, sebenarnya diam pun yang mereka lakukan sebenarnya jauh lebih banyak
bicara daripada berbicara itu sendiri.
Lalu mengapa hari itu mereka meluangkan
waktunya? Jawaban dari pertanyaan ini adalah karena didasari pada latar
belakang yang tak jauh berbeda. Satu benang merah yang paling jelas yang saya
tangkap sehingga jiwa perupa Aceh ini terpanggil adalah karena miskinnya apresiasi terhadap karya mereka (baca: mereka sendiri) meskipun ada
persoalan-persoalan lain yang tak juga begitu mudah disepelekan, bisa saja
semacam kecemburuan ataupun kekecewaan terhadap Dewan Kesenian yang memberi
nilai lebih atas kegamangan yang mereka rasakan.
Secara pribadi, Saya sebagai
penikmat seni rupa sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan
persoalan-persoalan demikian. Tapi itu dulu! Namun belakangan saya mulai merasa
terusik dan bahkan terpukul juga kadang-kadang terlalu sering ada niat untuk
menjadi separatis keadilan kesenirupaan –kalau bisa disebut demikian-. Hal ini
karena berawal dari bingkai pengalaman saya sendiri.
Perkenankan saya mencurah kisah
dalam catatan singkat ini. Awal bulan Mei lalu, kebetulan menjelang Hari Pendidikan
Nasional, saya bersama dengan teman-teman club desain grafis kampus KPI
Ar-raniry akan merencanakan pameran desain grafis, kemudian menggandeng
komunitas Fotografi untuk pameran bersama, dan mereka menanggapi positif.
Layaknya sebuah kegiatan, tentu saja memiliki konsep dan tujuan yang mantap. Tapi
setiap perjalanannya tidak selalu mudah, kami sama sekali tidak mendapatkan
dukungan yang nyata dari akademisi, apapun itu, jangankan dana dorongan semangatpun
tidak! Walau demikian, karena api telah melecut, jangan biarkan mereka padam,
hingga sampai akhirnya mereka melakukan pameran dengan sederhana (baca: apa
adanya) dengan acuan konsep yang terpaksa pula disederhanakan dalam konteks
yang berubah (sebenarnya berniat untuk
pameran HARDIKNAS, karena persoalan tidak ada apresiasi maka berubah niat
menjadi pemberontakan dengan cara pameran agar mereka tau kalau club ini tidak
omong kosong!)
Setiap mekanisme pameran juga
telah disiapkan sesuai dengan job description yang ditentukan tiap anggota club
yang kemudian kami sebut sebagai tim penggerak. Salah satunya adalah mencoba
melibatkan rekan-rekan media turut serta mempublikasikan acara sederhana ini,
baik itu media cetak, online, radio bahkan televisi. Dan yang membuat paling
sakit hati dan kesal mendalam adalah mereka (para dosen) mengambil bagian dalam
upaya dan kerja keras ini sebagai bagian dari kinerja Kampus, mereka mengumbar
kebohongan-kebohongan yang mereka ciptakan sendiri dibalik keringat dan jerih
payah dan pengorbanan yang telah kami lakukan! Bukankah itu menjijikkan? Terkait
pengalaman itulah saya tergerak untuk memperjuangkan ketidakadilan ini.
Kembali pada persoalaan pertemuan
di KRAK society. Karena beberapa alasan diatas, Pertemuan ini semakin megarah
pada pembentukan lembaga, karena telah muak dianaktirikan oleh Dewan Kesenian,
maka lahirlah “JAROE = Jariangan Aneuk Rupa nanggrOE” yang menjadi pilihan tepat
sebagai nama lembaga yang menaungi komunitas Perupa di Aceh. JAROE adalah
Perserikatan, itu yang saya pahami.
JAROE menjadi penaung terhadap
komunitas perupa atau perupa yang bergerak secara individual, baik itu Komikus, Pelukis, Kartunis, Ilustrator, Fotografer, Bomber, Desaine Grafis dan Pematung. Saya dari awal
telah berpikir bahwa dengan perbedaan-perbedaan yang sangat kontras ini apakah
sebenarnya kita mampu bertahan dalam naungan yang sama yang bernama JAROE ini?
Dari awal pula saya telah
mengintip persoalan-persoalan yang sama tiap-tiap perupa begitupun juga saya,
yaitu tentang aktualitas diri, bahwa sebenarnya kita hanya butuh diperhatikan
karena merasa kita dikucilkan. Kita bagai bocah ingusan yang mencari perhatian
ibu dengan menangis lalu bertingkah semaunya atau bagaikan rakyat yang harus
menjadi militan perang yang memberontak terhadap pemerintahnya karena keacuhan
dan ketidakadilan mereka dan dalam konteks ini kita kenal sebagai Dewan
kesenian.
Dari situlah Saya melihat Fadhlan
Bahktiar memanfaatkan kegelisahan yang telah menggumpal ini menjadi energi
pemersatu, antusiasme yang tak harus dibendung oleh perupa kemudian
mengukuhkannya hingga bersusah diri menyebabkan pertemuan ini. Llu kegelisahan
ini meledak dengan teratur yang melahirkan JAROE.
Terus terang jauh sebelum itu,
saya juga telah mewacanakan hal ini kepada Tauris Mustafa yang saya percaya
mampu menampung kemelut yang sama. Menurutnya, perkumpulan seperti itu sangat
baik. Bahkan harus! Hanya saja saya mendapat pernyataan yang paling prinsip atau
bisa saya sebut nasihat hebat darinya. “Nasry punya keluarga sendiri (PANYOET)
sementara Abang juga punya keluarga sendiri (Apotek Wareuna),... ” saya tau
jelas makna yang diungkap dari pernyataan Tauris Mustafa. Dengan bebas –melihat konteks- saya dapat memaknai kalimat
itu berarti bahwa, bagaimanapun kita telah berada dalam naungan yang sama yaitu
JAROE, kita tak akan pernah bisa melebur menjadi satu. Karena kita adalah
persatuan bukan kesatuan hingga tak dapat dibedakan.
Lebih dari itu sebenarnya, JAROE tidak
memiliki wewenang apapun terhadap komunitas ataupun perupa didalamnya, namun
sebaliknya, komunitas atau perupalah yang harus mewenangi JAROE agar terus
hidup dan menghidupi perupa yang telah melahirkannya bahkan yang tidak. Dan itu
hanya dapat dijawab oleh perjalanan waktu, karena sesungguhnya perbedaan dapat
mempersatukan sehingga kita bertahan bahkan sebaliknya malah perbedaan yang
memaksakan kita harus hengkang.
Selamat datang ke dunia, JAROE
!!!
Rasnadi Nasry
KETUM PANYOET
KETUM PANYOET
Benih lama, Muncul kembali, semoga tetap abadi, konsekwensi untuk kita sehati , JAROE (Jaringan Aneuk Rupa Nanggroe)
BalasPadamSebagai penikmat seni saya menyambut riang gembira plus gegap gempita kelahiran JAROE ini :) SELAMAT LAHIR KE DUNIA JAROE....!
BalasPadamBenar Syukran jazila. terimaksih doanya, semoga terus berjaya dalam kesenirupaan yang terliputi oleh JAROE. Amin dan Aminkan
BalasPadamTerima kasih Wanna Be Inspiring... ^_^
BalasPadamini kak Aini yaa?? oohh,,, Terimaksih kak aini, Terus berbagi karya ya kak. ditunggu lho komik terbarunya.
SESUATU deh!
BalasPadamBiar ana nggak bisa ngegambar, ana tetap dukung atas lahirnya JAROE. Terus jaya, Panyoet!
^0^
Ahaha,,, Seseuatu ya isni?
BalasPadamYups... Thanks... Semangat terusnya tolong tularkan ya isniii.. ^^
Wah..pengen gabung. Gimana caranya? :D
BalasPadam