“Aceh
tak akan pernah berpikir jika kita -sebagai warganya- tak berpikir!”
Lukisan Oleh : Tu-ngang Iskandar |
Statment
ini muncul di sela-sela diskusi terhadap ranah kesenian ala warung kopi malam
itu. Membahas kesenian bagi saya adalah hal yang paling sensitif, mengingat
kekinian pergolakan politik Aceh yang semakin hari semakin unik saja dan terus
menggerus kesenian. Kesenian masih dianggap sebagai persembahan yang temporial
dan hanya dapat diekspose pada waktu-waktu tertentu saja, sebutlah seperti
sebuah acara kenegaraan, menyambut hari besar atau apalah namanya. Saya mengubah posisi duduk dan memasang kuping agar
bisa lebih peka mendengar diskusi bebas itu karena berbagi dengar dengan suara
tayangan bola kaki. Ini semakin menarik saja.
Sistem
pemerintahan yang sedang kita hadapi saat ini adalah carut marut politik yang
busuk, kehidupan kita jalani sekarang ini adalah imbas dari sistem kacau itu
yang merambah ke perut seniman, Perupa khususnya. Miris ketika saya mendengar
seseorang yang berbakat dan potensial dalam melukis justru menafkahi diri
dengan jualan kelapa muda atau menjadi tukang tambal ban. Bukan hal demikian tidak
boleh, hanya saja mengapa kemampuan itu tidak diberdayakan dan didukung
semaksimal mungkin. Yang saya tangkap dalam diskusi ini, ternyata jawabannya
klasik. Lagi-lagi Pemerintah yang menjadi borok kesalahan ini. Apakah seniman
menjadi korban? Dari apa yang saya dapat pahami dalam diskusi warung kopi itu
ternyata banyak katagori seniman di Aceh ditilik dari kepentingannya.
Pertama
adalah Seniman Aceh menganggap dirinya -sadar tidak sadar- telah menjadi korban
dari dari sistem yang telah terbentuk. Mereka menganggap dirinya telah dikucilkan
sistem pemerintahan, Hal ini dapat kita buktikan dari beberapa pengalaman perih
yang dialami, mulai dari ketidakpedulian bahkan melarang kebebasan
mengeksplorasi seni pada wadah yang seharusnya mereka berada. Misalnya Taman Budaya atau Taman Ratu Safiatudin. Sikap tak acuh ini akhirnya menjadi bara
api dan dendam, Pemerintah menjadi musuh karena memandang seniman sebelah
mata.
Kedua
adalah Seniman Muda Aceh justru tidak mengganggap keberadaan pemerintah sebagai
generator yang memulai segalanya, justru merekalah pemantik apinya. Mereka
terus mengekpresikan diri dan komunitasnya di luar iming-iming kucuran dana
dari pemerintah. Mereka sama sekali tidak peduli dengan apa dan bagaimana
pemerintah bekerja terhadap mereka, peduli atau tidak itu tidak menjadi ukuran
terhadap aktifitas pengkaryaan mereka. Ideologi ini menjadikan mereka kokoh dan
tak mudah dipermainkan dalam arti mereka akan terus berkarya walau tanpa
bantuan sekalipun.
Ketiga
adalah Seniman pemerintah, Seniman yang khusus mendapat perlakuan istimewa dari
pemerintah, mereka dibiayai dengan dana dan fasilitas-fasilitas pendukung
lainnya. Mereka akan menjadi persembahan utama dalam setiap pertunjukan dan
pameran yang dilakukan pemerintah. Namun jika event tidak ada maka merekapun
lenyap entah berantah, Tak heran pertunjukan yang persembahkan begitu sangat
tidak profesinal, karena orientasi
mereka adalah ‘Money’.
Dimanakah
posisi kita saat ini, mungkin ada katagori lainnya atau bahkan tidak ingin dikatagorikan?
Memang
berbicara kesenian Rupa di Aceh adalah hal yang pelik. Hal ini patut
dikhawatirkan mulai dari ranah akademisi bahkan agama. Di dunia Akademisi
misalnya, Coba sebutkan satu saja sekolah seni atau Perguruan
Tinggi/Universitas yang memiliki Fakultas kesenian dan Jawabannya Mutlak, Tidak
Ada! Walau beberapa tahun lalu pernah
diwacakan akan mendirikan Akademi Kesenian Aceh atau AKA, Namun buktinya
sekarang gaungnya saja bagai ditelan bumi.
Selain
itu ajaran agama –Syariat Islam- menjadi seperti tameng terhadap aktifitas
kreatif, padahal bukankah bakat adalah anugerah? Terus terang saya belum
mengerti apakah itu benar atau hanya sebagai dalih saja. Saya pernah mendengar
kalau patung itu dilarang di Aceh karena alasan bertentangan dengan kearifan
lokal dan Syariat Islam. Jikapun peraturan itu benar dan harus diterapkan
mengapa di beberapa titik justru berdiri megah, beberapa mainan kuda-kudaan dan
gajah-gajahan di taman-taman kota adalah patung bukan, manekin yang ada di toko-toko pakaian juga patung, kan!?
Terlepas
dari segala hambatan dan kekakuan yang masih saja mengotak-kotakkan seniman di
Aceh Saya pikir yang perlu dipikirkan dan dikerjakan adalah menyusun kekuatan
dengan terus berkarya, terus dan terus.
by. Rasnadi Nasry
Ketum PANYOET
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
Beri jejakmu di sini. Terimakasih. ^_^